Belajar Tidak Peduli

Selama satu tahun ini saya melakukan percobaan apa rasanya jadi orang yang tidak peduli. Dari hasil eksplorasi dan perenungan, langkah awal untuk menjadi orang yang tidak peduli adalah diam. Saya mulai diam baik secara offline dan online.

Saya sedikit demi sedikit berhenti berdiskusi hal-hal aneh bersama teman-teman diskusi saya, hingga hampir tidak pernah berdiskusi. Saya mundur dari dunia peronlenan, hampir tidak pernah post facebook, twitter, blog bahkan menulis private note “diary” sudah tidak pernah.

Awalnya susah sekali, seperti burung beo disuruh diam, tapi lama-lama terbiasa. Hasilnya signifikan sekali, kalau ada berita-berita panas saya bisa menahan berkomentar atau berargumen. Saya merasa menjadi pribadi yang lebih sabar. Apa yang dikatakan orang-orang berhenti berkomentar itu menjadikan kita lebih tenang ternyata saya rasakan.

Bad newsnya, saya jadi bisa menganggap kabar-kabar negatif itu tidak ada dengan justifikasi yang positif, misalnya ada rumah tetangga yang kebakaran (misal lho, fiktif), “ah, nanti bisa bikin rumah lagi, percaya Allah bakal bantuin, tenang aja.”, sounds positif thinking but uhmm…… Berita buruk lainnya, saya merasa critical thinking saya jauh lebih tumpul.

Hal yang paling buruk adalah ternyata tenang disini adalah ilusi. Saya orang organisasi, selalu ingin membuat pergerakan demi kebermanfaatan bersama. Saya mulai berhenti melakukan itu. Kenapa? karena berkontribusi dalam pergerakan (hal-hal berbau organisasi, komunitas, sosial masyarakat, penelitian, kolaborasi kerja, dll) artinya merenggut ketenangan dan pikiran bawah sadar saya selalu menjustifikasi bahwa keputusanmu tidak terlibat dalam pergerakan adalah tepat.

“ngapain ngurus itu, orang-orangnya juga gak mau diatur.”, “ngapain ngurus itu, kemarin aja dilecehkan.”, “ngapain ngomongin itu, biasanya juga gak didenger”, “ngapain friend-an sama dia, timelinenya toh negatif terus, unfollow aja, unfriend aja”, “ngapain rangkul dia, toh diajak jalan bareng gak mau, apa lagi diajak lari, udah sendiri aja”, dan justifikasi lainnya yang membuat saya merasa berada di posisi yang tepat.

Jadi ketenangan itu ilusi, tenang hanya untuk diri sendiri.

Sehingga, permisalan kalau ada rumah tetangga kebakaran di atas makna sebenarnya justru :

“Ada rumah orang kebakaran? Its okay, yang penting bukan guwah!”.

Yeah, tenang disini adalah “Its all about me!”

Awalnya saya tidak menyadari itu, karena pikiran saya dipenuhi oleh justifikasi positif. Bahkan saya sudah tidak peduli lagi ini penelitian tentang apa dan lupa ini merupakan rangkaian penelitian menjadi orang yang tidak peduli, so what, saya malah lebih tenang kok, saya masih jadi orang yang peduli kok, ngakunya. Hingga ada ucapan teman yang sederhana yang menyadarkan saya. Dengan gesture yang tidak lumrah, tapi saya kenal gesture itu, dan saya tahu gesture-nya yang demikian selalu ada udang dibalik so’un, dia berkata :

“Gimana percobaanmu, sudah mencapai level ketenangan ? Kamu yakin itu ketenangan yang kamu harapkan ?”

Saya berpikir keras berhari-hari apa maksudnya. Sudah lama saya tidak berpikir keras seperti ini. Short story, tibalah AHA-moment, “oh, iya, saya sedang penelitian, dst, dst, dst”. Lalu saya mengevaluasi diri, ternyata saya sudah berubah menjadi pribadi yang lebih buruk. Saya sadar, saya harus segera merestorasi diri. Saya menggunakan wasiat sederhana nenek moyang saya sejak SMA dulu untuk merestorasi diri :

“Pergi ke tempat yang baru, Baca buku yang baru, dan bertemu orang-orang baru.”

– sabda guru-guru SMAN 1 Cianjur, :*

Setelah berbulan-bulan, akhirnya saya bisa merasakan kehadiran diri saya yang dulu, bahkan teman-teman diskusi saya berkata demikian, walaupun sebenarnya masih ada yang hilang katanya. Walaupun begitu, saya merasa kondisi saya lebih baik karena hal-hal positif yang saya dapat dari percobaan ini sebagian masih bisa saya implementasikan seperti menahan diri untuk berkomentar.

Jadi, teman-teman, apakah kamu yakin kamu berada dalam ketenangan yang kamu harapkan? Ataukan ini semua “hanya tentang aku” ?


Dengan tulisan ini juga saya minta izin untuk mulai nyampah di socmed lagi, HAHAHAHA