H0 H1 : Another Perspective

 

Kita awali dengan soal sebagai contoh. Tenang, tidak ada hitung-hitungan kok.

Pak Blangkon seorang penjual baso. Pak Blangkon salah seorang penjual baso yang sukses. Rata-rata dalam sehari Pak Blangkon bisa menjual 300 porsi baso. Suatu hari Pak Blangkon menemukan artikel yang menyebutkan bahwa micin itu merusak. Maka sejak hari itu Pak Blangkon memutuskan untuk tidak menggunakan micin pada basonya. Lima hari sejak Pak Blangkon tidak menggunakan micin, penjualan Baso Pak Blangkon rata-rata per hari menjadi 350 porsi. Pak Blangkon yakin bahwa penjualan baso tanpa micin lebih baik daripada dengan micin dalam masalah penjualan. Pertanyaannya, apakah pernyataan Pak Blangkon benar? Diketahui variansi penjualan baso saat menggunakan micin adalah 250.

Salah satu cara untuk menyelesaikan kasus ini adalah dengan menggunakan statistik diantaranya uji-Z. Biasanya, langkah pertama untuk melakukan uji statistik kita menentukan hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (H1). Dari kasus di atas maka dirancanglah Ho dan H1 sebagai berikut :

H0 : = (rata-rata penjualan baso saat tanpa menggunakan micin sama dengan saat menggunakan micin.)

H1 : > (rata-rata penjualan baso saat tanpa menggunakan micin lebih tinggi daripada saat menggunakan micin.)

Masalahnya adalah, saya selalu bingung mana yang harus ditaruh di H0 mana yang harus di H1. Apakah anda bingung juga seperti saya? kenapa bukan begini ?

H0 : >

H1 : =

atau begini ?

H0 : <

H1 : =

Setelah saya telusuri, ternyata H0 dan H1 ini adalah sesuatu untuk menyatakan bahwa pada data ada efek atau belum ditemukan efek. Kata kuncinya adalah efek. Kata kunci ini saya temukan di sejumlah paper. Paper-paper tersebut tidak menggunakan kata “hipotesis” tapi lebih sering menggunakan kata “efek”. Lalu dimanakah peran kata “efek” ini pada H0 dan H1? Hipotesis nol (H0) merupakan kondisi untuk menyatakan bahwa data yang ada tidak cukup untuk menunjukan ada efek pada data. Kasarnya tidak ada efek pada data***. Sedangkan hipotesis satu (H1) atau alternatif digunakan untuk menyatakan bahwa ada efek. Lalu, kenapa namanya hipotesis nol dan hipotesis alternatif?

Dari sejarahnya, ternyata hubungan H0 dan H1 ini berangkat dari pemikiran skeptis. Berawal dari skema berikut. Seorang peneliti A punya data X, lalu datang peneliti lain, B, punya data Y dimana Y merupakan data yang sumbernya hampir sama dengan X tapi telah dipengaruhi kondisi sesuatu. Peneliti B mengaku bahwa jika X dilakukan sesuatu maka akan memiliki suatu efek, hasilnya diantaranya adalah Y. Tapi A skeptis, sehingga peneliti A berpendirian bahwa tidak ada efek pada data milik B.  Pendirian peneliti A yang skeptis ini disebut sebagai H0, hipotesis nol, hipotesis awal, yaitu sebuah asumsi atau pendirian awal bahwa tidak efek pada data milik B. Pendirian A akan berubah jika B dapat membuktikan bahwa jika X dikenai sesuatu maka akan ada efek seperti yang terjadi pada data Y yang merupakan pendirian B. Ketika B dapat membuktikan pada A, maka A harus mengakui pendirian B. Pendirian B ini harus diakui oleh A, makanya disebut hipotesis alternatif.

Kembali lagi ke kasus Pak Blangkon di atas, kenapa H0 adalah “=” sedangkan H1 adalah “>” ? Karena H0 merupakan hipotesis kita di awal dengan dasar skeptis, sedangkan H1 jika ada pembuktian bahwa ada efek.

Jika memang berangkat dari skeptis, maka H0 kasus Pak Blangkon adalah TIDAK ADA EFEK pencabutan micin pada jumlah penjualan baso. Kemudian untuk H1 adalah ADA EFEK pencabutan micin pada jumlah penjualan baso YAITU MENJADI LEBIH TINGGI.

Kesimpulannya :

H0 : Tidak ada efek pada data***.

H1 : Ada efek pada data.

 

***Ohya, sebenarnya penggunaan kata “tidak ada efek” itu belum benar, yang benar adalah.

H0 : Data yang ada tidak cukup untuk membuktikan ada efek pada data.

H1 : Ada efek pada data.

Ohya lagi, di metode pengujian yang lain kalian akan menemukan H0 dan H1 kebalik. Itu ada penjelasan lebih lanjut.

Terima kasih, selamat berbingung ria.

 

 

Meluruskan Tentang Interval Konfidensi

Suatu ketika saya sedang giat-giatnya belajar statistik. Di tengah pembelajaran, saya menemukan sebuah paper (artikel?) yang salah satu poinnya mengatakan kurang lebih seperti ini :

“Interval konfidensi (IC) 95% secara rata-rata mampu menangkap 85% data real/aktual/populasi (bukan sampel*).”

*Harap selalu bedakan populasi dan sampel.

Dahi saya tiba-tiba mengerenyit dan sejenak bertanya,

“Bukankah justru IC 95% itu menangkap 95% data populasi ya?”,

Karena waktu kuliah saya diajarkan demikian. Atau bisa jadi saya yang salah paham.

Saya coba bertanya pada beberapa teman statistik. Ternyata teman-teman saya justru setuju dengan saya bahwa IC 95% menangkap 95% data aktual. Tapi saya tetap ragu dan saya lanjut belajar.

Luckily, tidak lama kemudian, saya menemukan video dan tulisan yang menjelaskan IC. Definisi dari IC berdasarkan sumber tersebut kurang lebih seperti ini :

“Jika kita mengambil sampel sejumlah N data kemudian menghitung interval konfidensinya (misal 95%) sebut saja X, maka X tersebut dapat menangkap mean daripada 95% sampel yang akan datang, dengan syarat dalam jangka waktu yang panjang, atau pengambilan sampel berulang-ulang setelah X dilakukan.”

Bingung? Oke, mari saya coba jelaskan lagi. Agar lebih mudah kita gunakan contoh :

Kita ditugaskan untuk menghitung rata-rata berat penduduk Indonesia. Dikarenakan kita tidak punya datanya, dan mengumpulkan berat 200 juta orang itu sulit, maka kita mengambil sampel, sebut saja 100 orang. Dari 100 orang yang kita hitung, rata-rata beratnya ternyata (misalkan) 60 kg. Kemudian kita hitung interval konfidensinya, hasilnya adalah (misalkan) antara 50 kg – 70 kg (IC1).

Kemudian kita ambil sampel lagi 100 orang. Hasilnya misal mean2 = 65, dengan IC2 55 kg – 75 kg.

Kemudian kita ambil sampel lagi 100 orang. Hasilnya mean3 = 55, dengan IC3 45  kg – 65 kg.

Kemudian kita ulangi langkah di atas, mengambil sampel-hitung mean-hitung IC, sebut saja kita ulangi sampai 1000 kali, maka 95% MEAN 1000 sampel yang diulangi tersebut akan jatuh di IC yang kita ambil pertama kali yaitu IC1. seperti contoh di atas, mean2 dan mean3 jatuh di IC1.

Masih belum jelas?

Kalau belum jelas, saya menemukan visualisasi untuk simulasi inteval konfidensi :

http://rpsychologist.com/d3/CI/

ic_1

Gambar di atas merupakan contoh simulasi penghitungan IC.  Garis putus-putus merah merupakan mean daripada populasi. Kemudian garis horizontal hitam merupakan IC, dan tiap garis memiliki bulatan biru. Bulatan tersebut merupakan mean daripada sampel. Adapun garis horizontal merah merupakan sampel yang meannya tidak jatuh dalam IC.  Masing-masing IC akan coba menangkap mean sampel di atasnya atau setelahnya. Coba diubah-ubah “Sample size”-nya. Misalkan coba dari 10, 100, kemudian 10000. Apa yang terjadi? Ya, panjang garis hitam horizontal menjadi lebih pendek, yang artinya range IC semakin mengecil. Ini disebabkan semakin besar sampel maka error yang muncul pada sampel semakin kecil. Mean sampel juga akan semakin mendekati mean populasi.

ic_2

Disimulasi di atas juga ada bagian yang mencatat sudah berapa sampel yang terkumpul. Dari gambar di atas, telah dilakukan 535 sampling, dimana mean 511 sampel jatuh di interfal konfidensi, dan 24 tidak.

Untuk lebih jelasnya, silahkan dicoba-coba lagi simulasinya. Jangan lupa dibaca penjelasan dibawahnya.

Bagaimana? Sudah paham?

Kalau ada tambahan, kritik, saran, pertanyaan, perjodohan, atau usulan, dipersilahkan diungkapkan 🙂

Semoga bermanfaat.

 

 

 

 

Coba Dijelajahi Dulu, Sob…

Mari saya berbagi cerita terlebih dahulu….

Iya, saya tahu, ceritanya sangat panjang. Jikalau terlalu lelah, silahkan langsung ke bagian intinya (ada garis pembatas).

Waktu SD saya suka sekali biologi. Saya suka baca bio kelas 6 walaupun baru kelas 3-4. Ingin sekali saya ikut lomba biologi, tapi malah dimasukan lomba matematika. Lumayan, dapet piala meski gak serius, tapi gak senang.

Masuk SMP, saya masih suka biologi. Lalu ada lomba (lebih tepatnya seleksi camp khusus menuju olimpiade, untuk wilayah Jabar). Guru memilih perwakilan. Lagi-lagi saya malah dimasukin tim matematika. Di satu sisi saya sedih karena tidak bisa berkontribusi di bidang yang saya sukai, di satu sisi saya senang karena mendapat kepercayaan dari sekolah. Saya cuma bisa tersenyum sambil menahan kegetiran saja waktu itu. Hingga akhirnya hari lomba, saya bertatap muka dengan soal matematika. Saya kaget, “gila, susah bener”. Saya berkeringat dingin, padahal ruang ber-AC. Mungin AC yang membuat keringat saya dingin. Singkat cerita, saya malah lolos, artinya saya ikut camp. Kali ini saya senang, bukan karena lolosnya, tapi lebih kepada dapat jalan-jalan gratis plus katanya kompensasinya yang banyak sekali. Selama camp, kalau gak salah selama 2 minggu dari pagi sekitar jam 8 sampai jam 5 atau 8 malam aktivitasnya cuma ngulik soal-soal matematika, awalnya stress, soalnya susah sekali, materi yang diberikan materi-materi SMA, walaupun kebanyakan dasarnya. Tapi lama-lama saya melihatnya, “Lho, kok seru juga ya.”. Apalagi banyak yang sakti-sakti teman belajar selama di camp, dan banyak guru yang filosofis disini semakin membuat saya tertantang dengan matematika. Selesai camp saya malah jadi suka matematika dan malah meng-unlock logical thinking saya dimana saya sebelumnya hidup cuma ikut kemana air mengalir. Pertama kalinya dalam hidup saya, saya merasakan apa itu nikmatnya berpikir.

Akhirnya saya masuk SMA! yeah! Secara perkompetisian saya sudah move-on dari biologi, tapi secara literasi saya masih suka. Sekarang saya menatap optimis pada bidang yang baru, matematika. Seleksi tim lomba di SMA sangat berbeda, bukan lagi guru percaya siapa, aklamasi, guru yang menunjuk, tapi seleksi menggunakan ujian seperti biasa, tiap kelas ada delegasinya, kecuali beberapa kelas, semua murid bisa ikut seleksi, diantaranya kelas saya. Saya ikut 2 seleksi, matematika, dan komputer. Good news, selama pengerjaan soal, alhamdulillah soalnya relatif mudah. Lil bit Bad news, saya masuk tim komputer. Not this sh*t again. Selama 3 bulan ke depan, 2-3 kali dalam seminggu saya akan ikut pelatihan komputer. Selama pelatihan, saya jarang sekali bersemangat. Materi pelatihan berupa programming lebih abstrak daripada matematika. Jarang sekali saya dapat memvisualisasikan apa yang ada selama programming dibanding matematika. Tak ada kata yang lebih menjelaskan selain “susah”. Walaupun begitu, saya tetap bertahan, ikut pelatihan sampai akhir walaupun sudah banyak korban berjatuhan, dari 10 peserta, tinggal 5, dan ini hanya terjadi di tim komputer. Masa pelatihan selesai, lalu tiba saatnya ujian akhir untuk pemilihan tim inti, 3 orang. Singkat cerita, saya tidak terpilih. Miraculous, karena satu dan lain hal, saya mendapatkan wildcard, artinya saya ikut lomba. Saya senang gak senang sih, tapi “let’s try to have fun!” saja. Waktu lomba tiba, dan saya mencoba bersenang-senang. Ketika melihat soal, saya kaget, “Lho? Kok soal-soalnya beda selama latihan?”. Guru saya selama pelatihan memberikan 2 tipe soal, pure programming, atau complex problem, contohnya soal enkripsi-deskripsi. Dari 50 soal yang saya lihat, ternyata tidak seperti itu. Setengah soal mirip seperti soal psikotes tapi setingkat diatasnya, setengahnya lagi soal programming tapi bertahap dari yang gampang sampai yang susah. Soal yang mirip psikotes saya kerjakan dengan lancar. Too bad, soal programming saya kewalahan. Harusnya soalnya mudah, tapi untuk ukuran saya waktu itu, soal mudah saja jadi terasa susah. Hasilnya mudah ditebak, saya tidak menang. Tapi, sejak saat itu, saya merasa baru kali ini bertemu soal yang keterlaluan sangat menyenangkan, bahkan soal matematika yang selama ini saya temui kalah menyenangkannya. Apalagi setelah saya tanya teman tim matematika, soalnya bagaimana? Ternyata “Whaaaat?!”, jauh dari yang saya bayangkan. Saya membayangkan soal matematika akan seperti soal cerita, pilihan ganda, tapi ternyata tidak. Soalnya hanya beberapa soal, kalau tidak salah 10, essay, sebagian besar lebih kepada pemahaman kita tentang banyak rumus, dan seberapa kreatif kita bisa menghubungkan rumus-rumus itu. Jadi malah lebih teoritis dan hafalan. Kemudian saya coba cari soal-soal komputer dan matematika tahun-tahun sebelumnya. Semakin lama saya malah tenggelam dengan komputer. Matematika? Saya malah bisa merelakannya. Semakin lama, entah kenapa saya malah menjadi fokus dan serius dengan komputer dibuktikan dengan sebuah hasil, saya bisa bawa pulang piala di kesempatan selanjutnya. And you know what? Dulu waktu SMP saya kalah oleh Mr.X saat lomba matematika. Saat lomba komputer, saya menang, dan Mr.X berada di bawah saya. What, a nice revenge :). Meanwhile, saya tetap tunjukan yang terbaik di pelajaran matematika. Hasilnya saya malah dapat kepercayaan guru untuk ikut serta di lomba matematika yang lain. Saya malah dapat 2 kepercayaan jadinya. Lumayan, dapat jalan-jalan dan tambahan uang jajan tiap lomba XD.

Hingga tiba saatnya kelulusan, artinya tiba untuk memilih jenjang selanjutnya. Ketika yang lain banyak yang bingung mau pilih program apa, saya bisa dengan tegas memilih ilmu komputer/informatika. Tapi saya tidak menutup kemungkinan untuk program studi lain. Hasilnya saya masuk ilmu komputer UGM, lulus, dan tetap bergelut di dunia IT sampai sekarang. Tapi sekarang berbeda, saya menjadi lebih terbuka terhadap kesempatan lainnya. I’m very grateful to God for this adventure.


Yeah, that’s how events on my life paving my way. Saya tidak menyangka jalur hidup saya seperti itu. Saya kira passion saya dari kecil adalah biologi, dan saya harus bergelut di dunia itu, tapi ternyata bukan. Apa yang dikatakan orang-orang selama ini tentang passion ternyata tidak sepenuhnya benar, bahwa passion itu seperti sesuatu bawaan lahir, tertanam di dirimu, sangat asasi, sangat mendasar, sangat mengakar. Bahkan penikmat filosofi passion garis keras meyakini kalau passion tidak bisa dirubah. You born to do that! Chase your passion or die!

Teriakan-teriakan demikian membentuk kita bahwa kita percaya kita ditakdirkan jadi (sebut saja) A. Semakin lama, rasa percaya itu semakin tebal. Tanpa disadari, hal tersebut malah membuat passion seperti antibodi atau antivirus. Ketika kita pilih A, rasanya tidak ada jalan kembali, tidak ada pilihan lain. Ketika kita diberikan kesempatan untuk melakukan X, tapi karena X bukan passion kita, kita menolaknya. Padahal X memiliki sesuatu yang berharga yang layak dicoba, kita tetap menolaknya. Ketika X bisa memberikan sesuatu yang jauh lebih berharga bahkan bermanfaat untuk banyak orang, kita tetap keras menolaknya. Setiap kita memperoleh hal X, selalu penyeselan, kita memilih menyesal. Kita terlalu yakin bahwa passion itu sesuatu yang tidak bisa diubah. Kita menganggap suatu apapun yang bukan X tidak akan membawa kebahagiaan. Ketika kita jatuh dalam X, kita meratap dalam sedih berkepanjangan.

Padahal sebenarnya passion tidak bekerja seperti itu. Passion itu pada awalnya sama seperti aktivitas-aktivitas lain. Awalnya kita melakukannya sekali. Terasa menyenangkan bahkan menantang, kita mengulangnya. Terus dilakukan berulang-ulang, kita malah jadi suka atau cinta. Setelah suka, kita tahu ternyata aktivitas yang kita lakukan ini ternyata jarang menimbulkan kebosanan, membuat kita ingin selalu belajar dan bertambah kuat, lalu tiba-tiba kita melihat visi, 20 tahun lagi akan seperti apa, dan ketika bayangan ini muncul, inilah yang membuat kita mulai berpikir, “Ini passion gue!”. Tapi justru hal ini yang menyebabkan penolakan terhadap kemungkinan yang lain karena hal lain tersebut tidak ada dicerita 20 tahun itu.

Ya, saya tahu bagaimana rasanya menolak, seperti kejadian yang saya alami di atas, saya merasakan apa yang dirasakan umumnya orang ketika harus melakukan X. Terutama sedih berkepanjangan. Untungnya saya dituntun untuk belajar terhadap masalah ini. Setiap saya bertemu X, seperti selalu ada bisikan, “let’s give it a try”. Awalnya susah, tapi rentetan kejadian yang satu ke kejadian lain membuat saya semakin terbuka dengan setiap X yang datang. Saya semakin tahu bagaimana caranya merespon setiap X. Responnya biasanya cuma 2. Pertama, Saya coba, saya jelajahi, ternyata malah mendapatkan kesenangan, semakin terikat, lalu muncul visi, bayangan masa depan, maka inilah passion. Kedua, saya coba, saya jelajahi, ternyata, “well, looks like its not for me, no vision”, dan kemudian saya kembali lagi ke passion yang sempat vakum itu. Saya tidak tahu apa jadinya jika saya tidak pernah memberi kesempatan terhadap X, mungkin saya hanya akan meratap sepanjang hidup.

Bagaimana Allah merancang takdir, memang luar biasa.


“Anakmu pandai menggambar? Waw! Calon pelukis! Itu yang orang selalu teriakan. Padahal anakmu memiliki kemampuan motorik yang berkoordinasi dengan mata yang bagus sekali. Bagaimana kalau kukatakan bahwa sebenarnya anakmu berbakat jadi dokter bedah?” (Seorang Quorer, 2015)

“Sebenarnya saya ingin menjadi dosen, karena ketika mengajar, i feel alive. Tapi ada trade off yang saya harus kejar yang tidak bisa saya peroleh jika menjadi dosen.” (Handry Satriago, CEO General Electrics Indonesia)

Belajar Tidak Peduli

Selama satu tahun ini saya melakukan percobaan apa rasanya jadi orang yang tidak peduli. Dari hasil eksplorasi dan perenungan, langkah awal untuk menjadi orang yang tidak peduli adalah diam. Saya mulai diam baik secara offline dan online.

Saya sedikit demi sedikit berhenti berdiskusi hal-hal aneh bersama teman-teman diskusi saya, hingga hampir tidak pernah berdiskusi. Saya mundur dari dunia peronlenan, hampir tidak pernah post facebook, twitter, blog bahkan menulis private note “diary” sudah tidak pernah.

Awalnya susah sekali, seperti burung beo disuruh diam, tapi lama-lama terbiasa. Hasilnya signifikan sekali, kalau ada berita-berita panas saya bisa menahan berkomentar atau berargumen. Saya merasa menjadi pribadi yang lebih sabar. Apa yang dikatakan orang-orang berhenti berkomentar itu menjadikan kita lebih tenang ternyata saya rasakan.

Bad newsnya, saya jadi bisa menganggap kabar-kabar negatif itu tidak ada dengan justifikasi yang positif, misalnya ada rumah tetangga yang kebakaran (misal lho, fiktif), “ah, nanti bisa bikin rumah lagi, percaya Allah bakal bantuin, tenang aja.”, sounds positif thinking but uhmm…… Berita buruk lainnya, saya merasa critical thinking saya jauh lebih tumpul.

Hal yang paling buruk adalah ternyata tenang disini adalah ilusi. Saya orang organisasi, selalu ingin membuat pergerakan demi kebermanfaatan bersama. Saya mulai berhenti melakukan itu. Kenapa? karena berkontribusi dalam pergerakan (hal-hal berbau organisasi, komunitas, sosial masyarakat, penelitian, kolaborasi kerja, dll) artinya merenggut ketenangan dan pikiran bawah sadar saya selalu menjustifikasi bahwa keputusanmu tidak terlibat dalam pergerakan adalah tepat.

“ngapain ngurus itu, orang-orangnya juga gak mau diatur.”, “ngapain ngurus itu, kemarin aja dilecehkan.”, “ngapain ngomongin itu, biasanya juga gak didenger”, “ngapain friend-an sama dia, timelinenya toh negatif terus, unfollow aja, unfriend aja”, “ngapain rangkul dia, toh diajak jalan bareng gak mau, apa lagi diajak lari, udah sendiri aja”, dan justifikasi lainnya yang membuat saya merasa berada di posisi yang tepat.

Jadi ketenangan itu ilusi, tenang hanya untuk diri sendiri.

Sehingga, permisalan kalau ada rumah tetangga kebakaran di atas makna sebenarnya justru :

“Ada rumah orang kebakaran? Its okay, yang penting bukan guwah!”.

Yeah, tenang disini adalah “Its all about me!”

Awalnya saya tidak menyadari itu, karena pikiran saya dipenuhi oleh justifikasi positif. Bahkan saya sudah tidak peduli lagi ini penelitian tentang apa dan lupa ini merupakan rangkaian penelitian menjadi orang yang tidak peduli, so what, saya malah lebih tenang kok, saya masih jadi orang yang peduli kok, ngakunya. Hingga ada ucapan teman yang sederhana yang menyadarkan saya. Dengan gesture yang tidak lumrah, tapi saya kenal gesture itu, dan saya tahu gesture-nya yang demikian selalu ada udang dibalik so’un, dia berkata :

“Gimana percobaanmu, sudah mencapai level ketenangan ? Kamu yakin itu ketenangan yang kamu harapkan ?”

Saya berpikir keras berhari-hari apa maksudnya. Sudah lama saya tidak berpikir keras seperti ini. Short story, tibalah AHA-moment, “oh, iya, saya sedang penelitian, dst, dst, dst”. Lalu saya mengevaluasi diri, ternyata saya sudah berubah menjadi pribadi yang lebih buruk. Saya sadar, saya harus segera merestorasi diri. Saya menggunakan wasiat sederhana nenek moyang saya sejak SMA dulu untuk merestorasi diri :

“Pergi ke tempat yang baru, Baca buku yang baru, dan bertemu orang-orang baru.”

– sabda guru-guru SMAN 1 Cianjur, :*

Setelah berbulan-bulan, akhirnya saya bisa merasakan kehadiran diri saya yang dulu, bahkan teman-teman diskusi saya berkata demikian, walaupun sebenarnya masih ada yang hilang katanya. Walaupun begitu, saya merasa kondisi saya lebih baik karena hal-hal positif yang saya dapat dari percobaan ini sebagian masih bisa saya implementasikan seperti menahan diri untuk berkomentar.

Jadi, teman-teman, apakah kamu yakin kamu berada dalam ketenangan yang kamu harapkan? Ataukan ini semua “hanya tentang aku” ?


Dengan tulisan ini juga saya minta izin untuk mulai nyampah di socmed lagi, HAHAHAHA

Terima Aku Apa Adanya (?)

Terima aku apa adanya.
Ekspektasi :
– Gue jelek, lu mesti terima
– Gue pendek, lu mesti terima
– Gue disabilitas, lu mesti terima
– Gue sering sakit, lu mesti terima
– Gue belum mapan, lu mesti terima (note : sudah bekerja keras)
– Gue belum lulus, lu mesti terima (akibat bekerja terlalu keras untuk meraih kemapanan).


Realita :
– Gue suka marah, lu mesti terima
– Gue badannya gemuk, lu mesti terima
– Gue suka ngerokok, lu mesti terima
– Gue gak suka sholat, lu mesti terima
– Gue gak mapan, lu mesti terima. (note : bukan karena males-malesan, tapi males beneran)
– Gue belum lulus, lu mesti terima (note : masih males beneran)


“Terima aku apa adanya” menjadi justifikasi untuk tidak perlu memperbaiki kekurangan pada diri yang sebenarnya bisa diperbaiki. Kalau diberi saran untuk memperbaiki, malah dianggap mengusik kenyamanan, jawabnya malah “Kamu udah gak seperti dulu lagi, udah gak terima aku apa adanya”.


Bagi saya, “terima aku apa adanya” itu sebuah pembohongan, yang ada adalah “terima aku ada apanya”, minimal untuk kesan pertama. Sudah naluri manusia untuk mencari yang rupawan, kaya, agamanya bagus, atau asik dll. Hal ini malah menjadikan kebalikan pada hal-hal di bagian ekspektasi menjadi bagian “terima aku ada apanya.” :
– Kamu cantik ? Kamu mesti bersyukur sudah saya terima.
– Kamu mapan ? Kamu mesti bersyukur sudah saya terima.

.
Bagi saya, ketika seseorang menjawab kalimat “terima aku apa adanya” dengan “saya terima kamu apa adanya”, ada ucapan lain dibaliknya :
“Oke, setelah kamu deskripsikan kelebihan dan kekuranganmu, saya menyukai kelebihanmu. Adapun kekuranganmu saya masih bisa kompromi. Saya harap bisa diperbaiki karena jika kekuranganmu terus dipupuk, pada level tertentu itu terlalu memuakan, mengganggu kenyamanan. Pada level tertentu juga kelebihanmu akan terabaikan. Tapi selama kenyamanan tetap terjaga, its ok.”


Tapi kan kepanjangan, malas ngungkapinnya dan susah dimengerti, dikiranya oportunis. Intinya, Ada kemurahan hati didalamnya, tolong jangan disia-siakan.


——————————————————–


“Kalau orang Amerika memang suka yang apa adanya, harusnya mereka pilih Donald Trump. Dia mah blak-blakan, apa adanya, yang lain mah topeng doang.” (Jahe, 2015)


“Kelebihanmu itu bagi lawan jenis itu kaya IPK, cuma cukup buat nganterin wawancara. Selebihnya perbaikan diri justru yang utama.” (Lengkuas, n.d.)

The Tales of Batu Akik

Pada masa ini Indonesia keranjingan oleh batu akik. Tetiba entah kenapa batu akik menjadi sangat femes sekali. Kemudian saya berhipotesis bahwa ada keterkaitan antara mewabahnya batu akik dengan F4, (Food; Fun; Fashion; Film), yang ada di Indonesia. Pikiran saya langsung tertuju kepada film. Merunut beberapa dekade ke belakang ternyata saya melihat ada fenomena film-film batu akik yang membanjiri dunia termasuk Indonesia. Sudah hal yang umum bahwa cerita-cerita merupakan alat propaganda yang sangat bagus sekali untuk membentuk opini publik. Kemudian saya mencoba melakukan pembuatan daftar film yang merujuk batu akik dan cukup heboh di Indonesia. Film apa saja itu ? Simak uraian beberapa film berikut ini :

Lord of The Rings : Propaganda yang sukses film tentang batu akik sepertinya dimulai dari sini. Lord of The Rings bercerita tentang cincin tak bertuan, alias tak berbatu akik, (di beberapa aktivis batu akik, cincin tak berbatu akik disebut cincin tak bertuan). Lord Of The Rings memiliki tagline yang sangat serius, “One Batu Akik, to Rule Them All”. Saya memprediksi bahwa film ini menjadi simbol akan munculnya gerakan seputar batu akik, dimulai dengan film tanpa batu akik.

Superman : Merupakan propaganda film batu akik bahkan bisa jadi yang pertama, hanya saja gagal karena film ini memunculkan stigma “kalau ketemu batu akik kamu jadi lemah”.

The Hobbit : Bagaimana semua ras makhluk hidup saling membunuh demi memperebutkan batu akik yang bernama “The Arkenstone”. Ini yang diharapkan oleh sang pembuat propaganda.

The Blood Diamond : Hampir sama kejamnya dengan The Hobbit, film ini bercerita batu akik yang bisa membuat orang saling membunuh. Hanya saja film ini tidak terlalu berpengaruh di Indonesia untuk percaturan batu akik di Indonesia karena batu akik di film ini sudah menstrim femesnya dan tidak cocok untuk Indonesia yang didominasi oleh UMKM dan jumlah batu itu gak banyak-banyak amat. Film ini menjadi alasan kenapa batu akik bernama berlian tersebut digilai di Barat tapi tidak di Indonesia.

Transformers : Kejamnya batu akik bernama All Spark / The Teserract bisa untuk mengundang alien umrah ke planet bumi, bahkan untuk menghancurkannya. Tapi batu akik merupakan sumber kehidupan bagi khalayak ramai masyarakat kelurahan Decepticon dan Autobots.

The Avengers dan film masing-masing heronya : Dimulai di periode Captain America lahir, salah satu batu akik terdahsyat di jagat raya yang jumlahnya ada 5 turun ke bumi, dialah the Infinity Stone. Sempat vakum kehebohan batu akik karena batu akik tersebut terkubur dalam es, tiba-tiba di periode milenia muncul lagi gara-gara Loki. Lalu keributan gara-gara batu akik dimulai kembali. Suasana bertambah ribut ketika Infinity Stone turun ke bumi. Tidak hanya di bumi, batu akik ini juga membuat keributan di galaxy lain seperti yang ditunjukan oleh film Guardians of the Galaxy.

Green Hornet : Ini mungkin film pertama bagaimana caranya batu akik terembedded, alias tertanam pada cincin dan bisa menghasilkan kekuatan luar biasa selain contoh lainnya bagaimana batu akik tertanam pada tongkat dan palu.

Film-film di atas baru sebagian. Saya yakin ada lebih banyak film lainnya yang merupakan propaganda untuk menguasa Indonesia melalui batu akik. Apalagi muncul film-film indie yang juga membahasa batu akik diantaranya Ganteng-Ganteng Serigala yang sangat sukses menyasar generasi alay untuk menggunakan batu akik. Sejauh ini tentang batu akik mungkin baik-baik saja karena memajukan perekonomian dengan buktinya banyak orang yang menjadi kaya mendadak. Tapi, hal buruk akan terjadi ketika batu akik menjadi monkey bussiness, di sinilah giliran aseng-asing turun yang sangat setia sekali dan senang sekali memberikan “bantuan”. Satu hal menjadi nyata, gerakan I Love U, Miss U and Need ASI, alias ilumunasi itu ada. Maka, berhati-hatilah kawan.

Onderdil Skripsi : Reference Style untuk skripsi (FMIPA) UGM menggunakan Mendeley

Bismillah…

Berikut saya bagikan reference style untuk mengatur daftar pustaka buatan saya pada skripsi khususnya (FMIPA) UGM yang diturunkan dari Harvard Style karya Julian Onions dan digunakan pada Bibliography Management (BM) yang bernama Mendeley. Awalnya saya menggunakan Harvard Style karena FMIPA UGM (ngakunya) menggunakan Harvard Style, tetapi karena banyak yang berbeda akhirnya saya ubah. Saya juga belum menemukan reference style (FMIPA) UGM yang bisa digunakan dalam Mendeley. Kalau ada yang punya mari berbagi.

Reference style ada di bagian paling bawah, kalau bosan bacanya silahkan langsung ke bagian paling bawah bawah. Jika tidak mau taqlid buta, silahkan baca alasan-alasan saya di bawah beserta bug yang ada pada reference style yang saya buat.

Keunggulan

Alasan saya menggunakan mendeley karena :

1. Apes, BM yang saya gunakan sebelumnya zotero (yang mainstream banget di UGM) tidak berfungsi dengan baik, akhirnya saya coba ganti.

2. Daftar pustaka otomatis diurutkan berdasarkan nama setiap kali update (sebenarnya gak tau juga BM yang lain bisa mengurutkan atau tidak).

3. Daftar pustaka otomatis update setiap melakukan sitasi, jadi tidak perlu khawatir “paper yang belum aku masukin yang mana ya?” atau “daftar pustaka yang ngga jadi aku masukin yang mana ya?”.

4. Ada machine learningnya. Drag ‘n Drop paper, langsung diidentifikasi atribut yang ada pada sumber seperti nama-nama penulis, judul, tahun, nama jurnal, nomor jurnal, bahkan ISBN dan URL (oh my gosh! awalnya saya kaget dapat dari mana padahal gak ada di paper, ternyata sebagian diambil dari server Mendeley), dan lain-lain, jadi tidak perlu banyak ngetik seperti nama penulis yang banyak apalagi nama dan nomor jurnal yang kadang susah ditulis. Mostly works on paper/journal. Adapun jika sumbernya buku, hoki-hokian. Kalau sumbernya web tidak usah khawatir “kemarin ngakses tanggal berapa ya?“, karena bisa terintegrasi dengan browser dan dicatat tanggal aksesnya kalau dimasukan.

5. Aplikasi BM mencatat lokasi file pada drive internal, jadi tidak usah khawatir filenya hilang atau di lain waktu ingin mengakses kembali, gak ada “file ini tadi ditaruh dimana ya?”. Semua taruh saja di BM. Jangan khawatir “daftar pustaka yang belum aku masukan dan ngga aku masukin yang mana ya?” karena mendeley hanya memasukan referensi yang disitasi pada dokumen.

Kelemahan

Nah, itu keunggulannya, sekarang kelemahannya. Kelemahannya gak ada! lebih tepatnya tidak saya temukan. Hanya saja saya bete karena MIPA UGM (ngaku-ngaku) pakai Harvard Style. Pas saya coba satu-satu semua Harvard Style yang ada di Mendeley ternyata banyak yang tidak sesuai dengan buku panduan skripsi FMIPA UGM atau sayanya yang ceroboh dan tidak teliti saat mencoba satu-satu atau MIPA UGM-nya yang memang menggunakan Harvard Style tapi tahun 1958 dan entah fakultas yang mana. Yes! Blame first! Sehingga akhirnya saya buat turunannya dan dari turunannya ini lahirlah bug atau kelemahan. Berikut bug pada style reference yang saya gunakan atau ubah yang bisa saya identifikasi dengan mencocokan dengan buku panduan adalah sebagai berikut :

1. Penamaan bulan di daftar pustaka masih dalam bahasa Inggris.

2. Jika penulis lebih dari 1, penghubung nama yang digunakan adalah “&” bukan “dan”.

3. Penulis adalah organisasi yang lebih dari 1 kata dianggap sebagai nama orang. Sebaiknya pas dimasukan kedalam Mendeley adalah singkatannya.

Solusinya ? Proses akhir dilakukan editing secara manual. done.

Ini daftar pustaka berdasarkan buku panduan :

Daftar Pustaka UGM

Ini daftar pustaka hasil Mendeley menggunakan reference style yang telah dibuat :

daftar pustaka 1daftar pustaka 1

Kalau ada yang mau memperbaiki dipersilahkan tapi jangan lupa lapor kesini. Kalau ada bug lain yang ditemukan silahkan laporkan ke kepolisian terdekat atau ke saya langsung. Kalau lagi mood insya Allah saya perbaiki.

Pesan terakhir, ternyata banyak skripsi yang daftar pustakanya menyimpang berdasarkan buku panduan, jadi hati-hati ketika mengambil sebuah skripsi jika ingin dijadikan contoh. Kalau ada perselisihan kembalilah ke buku panduan dan perkataan dosen, walaupun diantara dosen juga ada khilaf. Semoga saya bukan golongan menyimpang.

Terima kasih, salam sukses untuk skripsinya. Selamat menyelesaikan skripsi, selamat bertransisi dari “Pemuda Harapan Bangsa” menjadi “Beban Negara”. Semoga berkah.

Reference Style

Silahkan baca dokumentasi Mendeley untuk menggunakannya

http://csl.mendeley.com/styles/268403411/UGM-harvard1-3

Bagaimana Mahasiswa Mengecewakan

Sudah hal yang umum bahwa industri selalu curhat masalah kualitas lulusan perguruan tinggi yang tidak sesuai harapan. Perguruan tinggi kemudian berusaha untuk mencoba memperbaiki aspek-aspek yang bisa diperbaiki. Tapi, tetap saja masih banyak industri yang kecewa. Perguruan tinggi melakukan perbaikan berdasarkan asumsi bahwa mahasiswanya kurang terlatih, maka di desainlah berbagai aspek yang akan meningkatkan kemampuan mahasiswa sehingga menghasilkan mahasiswa yang outstanding atau setidaknya acceptable, dapat diterima industri. Perguruan tinggi menjadikan curhatan industri sebagai poin utama dalam kasus ini, dan berdasarkan poin itu dilahirkanlah solusi-solusi. Perguruan tinggi lupa bahwa selain industri yang kecewa, dibalik semua itu ada lebih banyak mahasiswa yang kecewa, dan kalaupun data dihadapkan kepada mereka, kemungkinan besar akan disangkal. Padahal jika digunakan asumsi bahwa mahasiswa juga kecewa, bisa jadi akan dihasilkan solusi yang lebih baik. Hal yang akan disoroti pada tulisan ini adalah kenapa mahasiswa menjadi kecewa dan keterkaitannya dengan industri.

Dimulai dari perbedaan Paradigma

Salah seorang guru saya berkata, jika kita ingin menilai sebuah kelompok, mulailah kita menilai dari instrumen-instrumennya yang fundamental, seperti visi dan misi karena itu menentukan paradigma atau cara pandang sebuah kelompok. Menilai orang tidak merepresentasikan kelompok, tetapi menilai instrumen bisa mewakili kelompok bahkan orangnya. Ketika sebuah instrumen kelompok dikatakan menyimpang sebagian atau seluruhnya, maka orang-orang yang ada di dalamnya bisa dikatakan menyimpang, yang membedakan adalah tingkat penyimpangannya, tergantung sejauh mana seseorang itu memahami dan menerapkan instrumen yang ada di kelompoknya.

Sehingga, aktifitas yang saya lakukan dimulai dengan berkaca kepada paradigma yang dianut oleh industri dan perguruan tinggi, tapi bukan untuk melihat kedua kelompok itu menyimpang atau tidak, tapi untuk menilai efek dari instrumen kedua kelompok tersebut. Industri menganut paradigma bahwa lulusan perguruan tinggi adalah seorang yang well trained sedangkan perguruan tinggi menganut paradigma bahwa mendidik mahasiswa untuk menghasilkan lulusan well educated.

Perguruan tinggi merasa paradigma ini tidak ada salahnya karena mereka berpikir bahwa seseorang yang well educated mau dibawa kemanapun selama tetap berkaitan dengan nilai-nilai fundamental yang ia raih di perguruan tinggi, maka orang tersebut tidak akan terlalu bermasalah jika diarahkan untuk menjadi seorang well trained manapun dibandingkan dengan orang pada umumnya padahal bagi industri untuk mendidik seseorang menjadi well trained itu memiliki cost yang relatif tinggi. Walaupun dalam visi umumnya perguruan tinggi mencanangkan di salah satu visinya menghasilkan mahasiswa yang terampil untuk industri, tetapi itu bukan concern utama, sama seperti pendidikan akhlak di perguruan tinggi yang menjadi concern kesekian.

Sebagai contoh, output paradigma ini bisa dilihat kepada bagaimana mata kuliah terancang. Sebut saja mata kuliah kerja praktek yang berkorelasi langsung dengan industri dengan bobot 2-3 sks. Porsinya tidak seberapa dibanding total sks yang wajib dijalani sejumlah 144 sks. Atau untuk pendidikan akhlak, sebut saja di salah satu program studi perguruan tinggi mata kuliah wajibnya terdiri dari 2 sks kewarganegaran, 2 sks pancasila, dan 2 sks agama. Total 6 sks berbanding 144 sks yang wajib dijalani mahasiswa.

Hal yang mesti disadari adalah Well trained dan well educated sekilas sama padahal beda. Well trained adalah masalah latihan, sedangkan well educated masalah pola pikir. Well trained adalah masalah kemampuan sedangkan well educated adalah masalah kemauan. Gajah di sirkus itu hewan yang well trained tapi tidak disebut well educated.

Efek domino yang sampai pada domino bernama mahasiswa

Paradigma ini memiliki efek domino. Paradigma yang dimiliki perguruan tentu berpengaruh terhadap cara mahasiswa menjalani pendidikan di perguruan tinggi. Sayangnya, paradigma yang dibawa perguruan tinggi tidak sama dengan paradigma mahasiswa yang dibawa dari rumah, “ayo masuk jurusan ini perguruan tinggi itu nak, biar gampang keterima kerja, gajinya gede” (parents, all time), which mean mahasiswa memiliki paradigma bahwa ketika mereka masuk perguruan tinggi mereka akan keluar sebagai seorang yang well trained. Perguruan tinggi berharap mahasiswa menjadi well educated sedangkan mahasiswa berharap menjadi well trained dan umumnya mahasiswa tidak tahu ini. Sehingga, seumur hidup kuliah mahasiswa berpikir mereka sedang dididik menjadi seorang well trained yang berakibat mahasiswa yang berharap jadi well trained tidak berpikir untuk mencari jalan alternatif seperti ikut organisasi kampus, forum ilmiah, seminar, magang dan lain-lain. Karena berpikiran seperti ini, akhirnya mahasiswa menerima saja apa yang diberikan selama kuliah sembari menyimpan rasa kecewa dan justru malah memupuk kekecewaan dari hari ke hari dimana kecewa adalah suatu rasa yang timbul karena gap yang muncul antara realita dan ekspektasi. Semakin lama mahasiswa kuliah semakin lama ia kecewa karena gap semakin besar. Sebagian ada yang mengekspresikan kekecewaannya, sebagian ada yang berpura-pura tidak terjadi hal-hal yang dinilai buruk baginya. Ketika kecewa sudah terlanjur besar, untuk hal-hal yang lain mahasiswa akan sulit berlapang dada semisal mata kuliah tertentu dirasa sulit yang dilakukan adalah menggerutu dan tinggalkan. Sejatinya mahasiswa yang berkeinginan menjadi well trained berteriak, “Helllloooow ?! Gue pengen ini kenapa lo kasih ini ?!”

Rasa kecewa ini menyebabkan sesuatu yang berbahaya yaitu hilangnya kemauan pada mahasiwa padahal perguruan tinggi mengharapkan lulusan yang well educated alias mempunyai kemauan adalah yang paling utama. Akhirnya, ketika lulus, mahasiswa berakhir menjadi seorang yang tidak well educated dan tidak well trained.

Lantas, apa yang semestinya dilakukan?

Bagi saya pribadi, perguruan tinggi harus meredefinisi kembali apa itu perguruan tinggi. Ketika definisi itu berubah, semua aspek yang ada pada perguruan tinggi akan berubah. Dalam kasus ini aktifitas pendefinisian ulang yang dimaksud adalah tentu melakukan kompromi dengan industri sehingga menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang tidak hanya well educated tetapi well trained. Jika aktifitas pendefinisian ulang ini masih sulit, perguruan tinggi bisa terus memberikan penekanan kepada mahasiswa agar mereka sadar fokus mereka di perguruan tinggi adalah di jalur well educated dan bagaimana mentransformasikan knowledge menjadi wisdom. Saya masih ingat, selama saya kuliah hanya dua dosen dan dua mata kuliah yang mengingatkan saya bahwa saya berada di jalur well educated, itupun di semester kuliah yang bisa dibilang tua.

“You’re afraid of that thing. We’ve been trying to solve the equation without changing the underlying assumption about that thing. Each iteration is an attempt to prove its own proof. It’s recursive. It’s nonsensical.” (Cooper, 2014)

Ironi itu…

Ironi itu ketika mahasiswa kedokteran takut melihat darah, pingsan kalau melihat pembedahan, dan mendiagnosa asal-asalan…

Ironi itu ketika mahasiswa hubungan internasional tapi anti sosial, tak berelasi, tak pandai berkawan…

Ironi itu ketika mahasiswa hukum malas membaca, membaca ayat-ayat jadi parsial, tergantung kebutuhan, bahkan tak taat aturan…

Ironi itu ketika mahasiswa farmasi tidak tahu cara meracik obat-obatan…

Ironi itu ketika mahasiswa komputer alergi jikalau harus bertemu masalah pemrograman…

Ironi itu ketika mahasiswa matematika merasa kesakitan setiap bertemu cacing-cacing yang berderetan…

Ironi itu ketika mahasiswa akuntasi bingung menghitung keuangan dan gagal menjaga cashflow bulanan…

Ironi itu ketika mahasiswa pertanian lebih nyaman duduk di kantor tapi jijik terjerembab ke lumpur pesawahan…

Ironi itu ketika mahasiswa teknik merintih melihat notasi dan perhitungan tapi suka berfantasi salary masa depan…

Ironi itu ketika mahasiswa politik tidak tahu masalah negeri yang berbisik di koran-koran…

Ironi itu ketika mahasiswa bisnis sudah merasa puas ketika menjadi karyawan…

Sayangnya ironi itu terjadi…

Terhadap kebanyakan insan mahasiswa di muka bumi…

Inikah pendidikan?

Entahlah…

Apalah aku ini…

Aku, sang ironi (?)

Sholat Berjamaah

Cerita pendek.

A, B, dan C sholat berjamaah.

kemudian selesai.

————————————————————–

lanjutan cerpen…

B dan C heran, sepanjang sholat si A menangis.

B : “Lu (A) kenapa nangis ?”

A : “gile bro tadi imamnya. Rakaat pertama imamnya baca tentang ayat-ayat siksa neraka sama siksa kubur. Gue jadi inget dosa. Rakaat kedua isinya ayat-ayat tentang perbuatan tercela. Duh, Tambah down gue. Itu perbuatan tercelanya banyak yang gue banget!!!” sambil jelasin bunyi ayat-ayatnya…..”

B : “Heh? Lu (C) kok tiba-tiba nangis?”

C : “Gimana gak sedih, ayatnya ngeri gitu. Terus si A enak, imam baca apa dia ngerti. Tapi ini yang bikin gue lebih sedih, 6000 ayat (sekitar 90%) qur’an isinya kisah. Harusnya sholat itu jadi kegiatan yang asik, tapi gue sama sekali belum menikmati, gak ada usaha pula biar bisa menikmati. 20 tahun sholat tapi gak nikmat?! kemana aja kemarin….. duh..”

A : “Ngapain lu (B) ? kok ikut-ikutan nangis ? kenapa sih?”

B : “Lu (A) asik bisa ngerti apa yang dibacain pas sholat. Lu (B), gue gak nyangka lu bisa nemuin ada titik menyenangkan waktu sholat. Tapi abis denger alesan lu berdua, kok gue gak tersentuh sama sekali ya? Terus apa gue pengen sholat gue jadi menyenangkan juga? gak, gak, gak muncul tuh rasa ingin biar begitu. Gue jadi mikir, seberapa keras dan bebal sih hati gue?”