AnaLieSys : Bar Chart

Pak Blangkon adalah lurah di desa Wakanda Wetan. Suatu hari Pak Blangkon didatangi sekretarisnya dengan tergopoh-gopoh. Dengan nafas tak teratur dia bilang, “gawat Pak Lurah, gawat”. Kemudian ia menyodorkan selembar kertas, isinya adalah perbandingan gaji Pak Blangkon dengan lurah sebelah, Pak Dengklek. Pak Blangkon naik pitam, ternyata gaji dia menurut mereka jauh betul dibandingin Pak Dengklek. Berikut isi kertasnya :

before_gaji.PNG

Pak Blangkon marah, akhirnya beliau berencana melabrak Bupati Wakanda soalnya beliau yang mengatur masalah gaji lurah-lurahnya.

Di tengah jalan, Pak Blangkon bertemu Didi Dukun. Didi Dukun heran, kenapa wajah Pak Blangkon seperti tidak biasanya, sangat jutek sekali. Pak Blangkon orangnya ember, dia ceritakan kalau gaji dia terpaut jauh dengan Pak Dengklek, beliau tidak terima, mau melabrak Pak Bupati. Didi Dukun penasaran, ia bertanya, memangnya sejauh apa ? Pak Blangkon menyodorkan lembaran kertas tadi.

Sebagai dukun di Wakanda, Didi ternyata tidak kaget. Didi Dukun yakin ini hanya karena ketidaktelitian Pak Blangkon. Didi menjelaskan bahwa bedanya gaji beliau berdua cuma beda 1 juta, itu pun Pak Dengklek 1 tahun lebih lama masa baktinya daripada Pak Blangkon, dan itu wajar di Wakanda. Didi Dukun jelaskan juga bahwa Pak Blangkon tertipu oleh bar chart ini dan kurang teliti. Karena bar chartnya di-deliver (apa ya, dipersembahkan gitu ? hahaha) bukan dari angka 0, tapi dari 19 juta, jadinya kesannya terlihat beda jauh, padahal kalau dari 0 bedanya sedikit.

Agar lebih jelas, akhirnya Didi Dukun memperbaiki bar chart tersebut. Dengan bantuan para jin, ini merupakan tugas yang mudah. Dengan bahasa Parsertongue-nya Didi Dukun merapalkan mantra, Pertamina Pertamax! Poof!, bar chart tersebut diperbaiki menjadi seperti ini :

after_gaji.PNG

Pak Blangkon angguk-angguk, lalu nyengir. Pak Blangkon pun ngaku kalau sebenarnya di tidak teliti. Dia hanya melihat bar-nya saja, tidak melihat angka di samping. Dari barnya kelihatannya dobel, dia kira gaji Pak Dengklek dobel daripada dia.

Pak Blangkon pulang dengan hati lega.

Lalu ngepret sekretarisnya.

Sekretarisnya mencret.

Masuk rumah sakit.

Udah ah.

Allah Mah, Gitu….

Bagaimana cara Allah mencintai itu beda dengan manusia. Jika manusia sedang mencintai, ia selalu berusaha memberikan apa yang diharapkan oleh orang yang ia cintai. Segala usaha dilakukan bagaimana supaya dia senang. Tapi Allah tidak seperti itu. Jika Allah mencintai hambanya, bisa jadi bukanlah kelimpahan harta yang diberikan, bisa jadi bukanlah kondisi nyaman yang diberikan, bisa jadi bukanlah ketenangan yang diberikan, tapi justru ujian. Makanya, sahabat Rasulullah jika hidupnya dirasa datar-datar saja, mereka justru resah,
“kok hidupku tenang-tenang aja ya, jangan-jangan aku belum masuk golongan orang beriman, jangan-jangan imanku gitu-gitu aja :(“.
Tapi, dibalik ujian-ujian itu ada kegembiraan yang berlipat setiap waktunya.

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: Kami telah beriman, sedang mereka belum diuji?” (Q.S. Al-Ankabut:2-3)

Sukses ?

Waktu di SMA saya diceritakan oleh guru saya bahwa dulu ada alumni yang pintar sekali, sampai dapat undangan untuk kuliah di luar negeri, dimana waktu itu kuliah ke luar negeri merupakan barang yang mewah-sangat-sangat (kira-kira tahun 70-80 an kalau gak salah). Tapi tidak beliau ambil karena tidak dapat restu orang tua. Tapi beliau tetap kuliah di salah satu kampus top-terbaik-legend Indonesia, yang bagi orang-orang daerah saya merupakan kondisi yang mewah juga. SMA nilainya mentereng, kuliah juga. Singkat cerita, puluhan tahun kemudian, guru saya bertemu alumni tersebut. Ternyata beliau bekerja jadi tukang servis elektronik, di ruko yang sangat kecil. Komentar guru saya ? So sad katanya. Saya juga merasa begitu. Saya kira beliau bakal menjadi orang sukses, ternyata gagal.

Kemudian saya cerita pada teman saya di SMA waktu itu, segala hal negatif saya ungkapkan, “ih, kasian banget ya.”, “ih, gak bisa memanfaatkan keadaan ya.”, “ih, bisa gitu ya.”, “kok GAGAL ya.”

Setelah dengar saya bercerita, komentar teman saya :

“Yaaah, itu kan cuma yang nampak, barangkali berkahnya emang disana. Barangkali emang bahagianya disana.”

Seketika itu saya jadi merasa bersalah bagaimana saya berpikir tentang beliau dan teman saya. Singkat cerita saya merasa seperti ada yang salah pada mindset saya tentang sukses. Teganya saya menghakimi orang lain dengan parameter yang saya punya, dimana bisa jadi parameter saya dan beliau itu berbeda. Semenjak saat itu saya mendefinisikan ulang arti sukses. Ternyata arti sukses saya selama ini hanya mendikte orang. Harus kaya, jabatan tinggi, kuliah di luar negeri, istri yang seksi, relasi disana sini, dan lain-lain. Setelah melintasi berbagai perenungan, akhirnya saya punya arti sukses sendiri. Rasanya lepas, saya seperti menjadi diri saya sendiri. Tak ada lagi beban untuk menanggung fantasi orang lain.

Rasanya seperti seorang bayi, bisa jalan sendiri, tidur sendiri, cebok sendiri, tanpa ditemani atau dibantu orang tua itu sudah sukses besar. Ya, sesederhana itu, tapi begitu berarti.

Hanya saja, kita selalu dibayangi fantasi orang lain, sehingga kita tidak menganggap itu sebuah kesuksesan. Akhirnya, kita tidak pernah punya waktu untuk berselebrasi.

Semilir Kasturi

Awalnya aku terjebak dalam dunia linear

Hilang tujuan

Tak ada persimpangan

Menggigil aku jenuh

Terbenam aku rapuh

 

Dalam kebutaan tiba-tiba ku tersentak

Ada wangi yang menyerbak

Tajam tapi samar-samar

Hatiku sakit serasa tertampar

 

Hari demi hari

Entah kenapa aku kenal aroma ini

Baru kusadari

Ini wangi yang lama kurindui

Wangi yang telah lama kubenamkan

Yang terpaksa aku hanguskan

Agar tak ada sakit lagi

 

Tapi, wangi ini membuatku bangkit

Tanpa memaksa

Tanpa bernada

Dia hanya lewat

Walaupun sesaat

Menyampaikan salam segenggam semangat

Semangat yang membelai kasih

melintas dimensi tanpa pamrih

 

Kini aku berjalan lagi

Mengejar aroma yang menuju ridho Ilahi

Memberi harapan terlepas dari rasa sepi

 

Tapi lidahku kelu tak mampu berkata lagi

Maka, tolonglah angin sampaikanlah pesan ini

 

Wahai semilir kasturi

maukah menemani perjuanganku?

Prosesi dan Sebuah Paranoia

Hari wisuda, ketika semua orang antusias, saya bersikap biasa saja. Entah kenapa saya bingung bagaimana menikmati acara itu (setelah melihat run down acaranya) dan kenapa saya harus bersuka cita waktu itu. Kenapa saya harus menggunakan seragam yang kedodoran? Saya tidak bisa melihat sama sekali estetika dari seragam tersebut. Kenapa saya harus berdesak-desakan saat masuk? Kenapa saya harus berdesak-desakan saat pulang di siang hari yang sedang puncak-puncak panasnya? Kenapa kegiatan utama saat wisuda justru kegiatan mengantri menunggu untuk dipanggil namanya ke depan? Kenapa saya harus bayar untuk kegiatan ini? Honestly, i feel uncomfortable. Jadi saya pun memilih tidur di kursi antrian. Hanya beberapa kegiatan yang saya cukup nikmati, adanya lantunan senandung Simfoni Indonesia Raya, lalu kumpul bareng teman dan keluarga. Dan entah kenapa saya lebih menikmati menghadiri wisuda teman daripada diri sendiri. Kalau teman yang wisuda itu berbahagia, saya serasa ikut berbahagia. Berbeda sekali dengan wisuda SD, SMP, SMA. Banyak sekali hiburan dan makanan. Selain hura-hura banyak juga prosesi yang bermakna. Bagi saya, itu baru namanya perayaan. Ya, saya tahu wisuda kampus itu lebih ke maknanya, saya enjoy kok dengan maknanya. Tapi apakah kegiatannya harus seperti itu?

Setelah kegiatan wisuda itu, saya tiba-tiba menjadi paranoid dengan kegiatan lain. Guess what, saya menjadi paranoid dengan kegiatan nikah. No, no, no, jangan salah paham dulu. Saya tidak bilang saya tidak ingin nikah atau mengadakan acara pernikahan, saya juga tidak bilang saya tidak suka menghadiri acara pernikahan, justru saya senang sekali menghadiri acara pernikahan, karena saya senang sekali melihat orang yang sedang berbahagia, terutama makanan gratisnya dan barangkali ketemu calon jodoh di jalan #eh. Yang membuat saya paranoid adalah sebagian besar dari kegiatanya.

Paranoid saya ini selalu tiba-tiba muncul setiap saya memposisikan diri saya menjadi seseorang yang berdiri di pelaminan. Banyak sekali kegiatan di pernikahan yang membuat saya bingung. Bayangkan, saya harus harus berdiri berjam-jam yang lamanya ngalahin upacara bendera bahkan upacara jambore pramuka dan bersalaman dengan orang-orang yang mostly tidak saya kenal, apalagi jikalau saya punya mantan, itu akan menjadi momen salam-salaman terlama kedua di dunia setelah ijab kabul. Bayangkan, ketika saya berdiri kegerahan, orang-orang di sekitar saya makan-makan dengan lahapnya dan berchit-chat ria, dan saya cuma menelan ludah dan menggombali pasangan di sebelah saya. Rasanya saya ingin terjun dari panggung dan ikut ngobrol dengan mereka sambil membakar sepotong iga kambing bersama-sama, tentu rasanya saya seperti bertamasya. Bayangkan, saya telah mengeluarkan puluhan juta untuk kegiatan ini hanya demi mendapat atau menghindari rembetan gelombang udara yang bernama pujian atau celaan sementara itu setelah pernikahan selesai, tagihan bermunculan dan di maraton sesungguhnya yang bernama kehidupan saya berjalan terseok-seok. You earn that money for years, aaaaaaaaand its gone…. poof. Lalu saatnya ke pegadaian. Hanya satu kegiatan yang saya bayangkan dapat saya nikmati selama prosesi pernikahan, yaitu ijab qabul, seru, seram, singkat, mendebarkan, sendu, dan bermakna dalam. Overall, Seriously, who was design this kind of events? Ini acara yang mau nikah atau acara (gengsi) keluarga? Saya lebih suka membayangkan jika pernikahan itu hanya mengundang teman-teman, tetangga, keluarga yang benar-benar kenal, “ngaliwet”, motong sapi, bakar-bakar bareng, ngobrol bareng, sambil nonton konser Cold Play, saling berbagi nasehat, terus dadah-dadah, dan saling mendoakan terutama disaat kesunyian. Kamu pernah nge-teh di depan jendela atau teras rumah ketika hujan? Mungkin suasananya seperti itu, sederhana tapi bermakna.

Mengenang WC SMA

Sekuler dan liberal. Itulah pola pikir saya dahulu. Tak ada yang tahu sama sekali pola pikir saya bagaimana saat SMP karena saya jarang mengungkapkan pendapat seperti penganut itu pada umumnya. Hal ini dikarenakan saya dibesarkan dengan kondisi yang kurang mendukung untuk mengungkapkan pendapat jadi saya tidak terbiasa mengungkapkan pendapat. Hobi saya mempertanyakan hal-hal seputar agama, tapi hanya bisa bertanya dalam alam pikir saja, karena sekali saya ungkapkan, banyak sekali mata-mata tajam yang memandang saya. Jadi saya memilih diam dan bermonolog merupakan hobi saya. Awalnya saya tidak tahu kenapa saya bisa seperti itu, padahal saya tumbuh di lingkungan pesantren dari kecil. Ashar ngaji, maghrib ngaji, abis isya ngaji, subuh ngaji, kecuali dzuhur karena masih di sekolah. Ngajinya pun bukan dasar seperti iqro atau baca tulis quran, tapi kitab atau bahasa arab, sampai saya benar-benar merasa depresi waktu itu, dan itu dari SD. Buat saya waktu itu susahnya luar biasa, saya harus menerjemahkan dan menghafalkan per kata bahasa arab ke bahasa jawa (namanya sorogan), sedangkan saya orang sunda dan di pesantren sunda. Salah satu kata saja di bahasa jawanya sudah dikesankan saya salah makna. Ohya, ada satu hal lagi tentang pesantren saya, pesantren saya juga “sekuler”. “Sekuler” gimana? Soalnya salah satu filosofi di pesantren saya, urusan-urusan selain ngaji atau islam itu cuma urusan duniawi. Main bola duniawi, makan duniawi, bahkan sekolah pun duniawi. Maka jadilah saya sekuler kanan sekuler kiri. Entah istilah macam apa itu.

Tibalah masuk SMP, seperti ada angin semilir buat saya, artinya, saya bisa tidak ikut ngaji Ashar. Kesekuleran saya jadi berkembang, apalagi setelah suatu momentum yang meng-unlock logical thinking saya, yang membuat saya menjadi sangat kritis, karakter liberal saya semakin menggila. Banyak pertanyaan yang bisa membuat banyak Ustadz ingin menampar saya andaikan saya ungkapkan.

Short story, saya masuk SMA, saya lebih senang lagi, karena saya pulang sore, lalu sore nongkrong-nongkrong atau ngerjain tugas, sampai rumah mepet magrib, artinya saya punya kesempatan untuk tidak ngaji magrib karena alasan kelelahan. Awal-awal masuk SMA saya ikuti seperti hari-hari biasanya di SMP, hanya saja entah kenapa selama di SMA saya rajin sakit perut sehingga hampir tiap hari saya ingin BAB padahal di SMP saya hampir tidak pernah ke toilet. Hampir semua WC di SMA mengecewakan. Bau, kumuh, penuh noda, becek karena tanah dari sepatu siswa-siswinya,  banyak yang mati lampunya, bahkan sebagian ada yang airnya tidak keluar. Lalu suatu hari saya tidak tahan dengan kekecewaan ini, saya keliling sekolah lihat WC yang belum pernah saya lihat. Saya kira tidak ada WC yang acceptable, tapi ternyata ada, yaitu WC mesjid. Saya terkesima, kagum, dan kaget waktu itu. Kesannya berlebihan atau lebay, tapi memang itu yang saya rasakan. WC-nya hampir tidak ada noda, bak airnya bening dan penuh, luas, cerah, tidak bau bahkan jika berkunjung di pagi hari, kadang wangi. Karena rasa kagum ini, saya jadi merasa ingin tahu siapa pelaku atas kejadian yang menyebabkan toilet ini berbeda, saya seperti ingin menyampaikan rasa terima kasih. Usut punya usut yang bersihin adalah pengurus DKM. Tapi ada masalah lain. Saya orangnya pemalu, masa saya tiba-tiba tanya “eh, kamu ya yang bersihin WC ya, makasih ya.”, buat saya itu awkward sekali. Agar saya tahu orangnya yang mana, saya memilih bergabung dengan DKM, ya 1-3 bulan nongkrong terus cabut lah ya, gak masalah, lagian saya terdaftar di 4 ekskul lain. Saya tidak tahu apa yang saya pikirkan waktu itu, tapi sepertinya itu cara paling halus yang bisa saya lakukan.

Akhirnya saya bergabung dengan DKM. Orang DKM orang-orangnya gampang ditemui, kalau nongkrong ya di mesjid, yaudah, saya sesekali ikut nongkrong. Dari sesekali jadi sering, asik juga soalnya, kadang ada makanan, minuman, nonton film bareng. Wah, ternyata orang DKM baik-baik ya, ramah, easy going juga. Bertambahlah kekaguman saya. Di DKM juga sering jalan-jalan, wah seru, saya kira anak mesjid itu kaku-kaku. Tambah senang saya di sini. Rencana awalnya 1-3 bulan gabung terus cabut, jadi tidak jadi, bukan karena DKM-nya, tapi lebih kepada orang-orangnya.

Bukan DKM namanya kalau bukan ngaji, sering kita ngaji bareng, baca ayat terus ada yang menjelaskan artinya sesuai kemampuannya. Ngajinya juga tidak susah-susah, ringan-ringan tapi membekas. Dari semua tema ngaji yang saya ada, ada 2 yang paling saya senangi, semangat berislam atau tazkiyatun nufus. Kenapa? Karena materi-materi ini tidak pernah saya dapatkan selama di pesantren. Semangat berislam memberikan saya motivasi-motivasi kenapa saya harus mengamalkan ajaran islam. Tazkiyatun nufus isinya selalu hal-hal yang menyentuh hati, ya lihat saja kajian Aa Gym seperti apa. Berbeda dengan di pesantren, kalau bukan ilmu alat, temanya ya ‘kamu kudu bener’, atau mencela yang suka membid’ah-bid’ah kan. Bagi saya sangat kontras, yang satu seperti hard skill, yang satu seperti soft skill. Hadirnya kedua tema itu seperti saya yang sebelumnya hanya punya otak, kemudian seperti ditiupkan ruh kedalamnya. Sebelumnya saya hanya punya otak tentang islam, setelahnya saya punya jiwa yang berislam. Kedua tema itu merubah saya sedikit demi sedikit. Saya yang asalnya sekuler dan liberal, sedikit berubah, menjadi sekuler tapi liberal beradab dan makin lama lagi saya berhenti menjadi seorang yang sekuler atau liberal, karena saya mulai bisa melihat bahwa kedua hal itu salah. Saya semakin giat berislam, copy video islami, jadi suka nasyid, buku-buku islam semakin banyak yang saya lahap. Semakin hari saya semakin sadar dan harus kembali menata keimanan saya.

Ya, dimulai dari sebuah WC mesjid ternyata bisa merubah saya.  Hidayah itu memang tidak disangka-sangka darimana datangnya.

Bincang-Bincang P-Value

Apa itu p-value? Well, kalian bisa cari dibuku-buku, internet, kursus-kursus atau apapun tentang p-value. Pasti ada penjelasan tentang p-value dan banyak, walaupun yah kebanyakan dari sumber-sumber itu membuat kita jadi rajin beristighfar dan mengelus dada. Dari banyak istighfar itu maka saya coba membantu meringankan beban teman-teman dengan cara meng-highlight hal-hal berkenaan p-value. Tapi, karena hal-hal tersebut jika dijabarkan secara terstruktur dan saling terkait menyebabkan saya butuh satu semester sendiri untuk menjelaskannya, maka hal-hal tersebut akan disebutkan secara acak. So, prepare for the randomness.

  1. P-Value berfungsi untuk melihat perbedaan yang ada pada data, misal perbedaan data sampel terhadap populasi. Data itu banyak mengandung hal-hal yang acak. Hal-hal yang acak itu menyebabkan kita tidak yakin apakah perbedaan pada data tersebut adalah karena hadirnya efek dari sesuatu atau hanya noise atau gangguan yang ikut nimbrung pada data. Maka digunakanlah p-value.
  2. Ketika p-value kurang dari suatu nilai threshold yang dikenal dengan nama alpha,  p -value < alpha, maka diasumsikan bahwa ada efek pada data, alias Hipotesis null tertolak.
  3. Ada kesalahan yang sering terjadi saat menginterpretasikan p-value terhadap Hipotesis null dan hipotesis alternatif. Ketika p < alpha, orang akan berkata “ada efek pada data”, ini benar. Tapi, ketika p-value > alpha, orang akan bertaka “tidak ada efek pada data”, ini salah. Yang benar adalah, “data yang ada tidak cukup untuk membuktikan bahwa ada efek pada data”. Kedua hal ini berbeda, yang pertama yakin bahwa tidak ada efek pada data, sedangkan yang kedua efek bisa jadi ada, tapi data yang ada tidak meyakinkan. Solusinya apa? Perbesar sampel, semakin besar sampel, semakin mudah untuk mendeteksi efek. Jika sampel sudah sebesar populasi, dan data p-value tetap saja diatas alpha, yakinlah sudah kalau tidak ada efek pada data.
  4. p-value merupakan maskot dari frequentist statistic. Frequentist statistic atau p-value bisa menjawab “Apakah ada efek pada data?”. Tapi hanya ada 2 jawaban “Ya” atau “Saya tidak yakin”. P-Value tidak bisa menjawab “Berapakah probabilitas efek pada data?”. Ini merupakah salah satu kelemahan p-value. Maka, lahirlah mazhab lain, yaitu bayesian statistic.
  5. p-value tidak pernah tidak untuk selalu menunjukan bahwa ada efek pada data yang disajikan di dalam jurnal-jurnal ilmiah. Well, it’s kinda boring.
  6. Ketika p-value menunjukan bahwa ada efek pada suatu data, bukan berarti efek itu terjadi pada seluruh data, tapi bisa jadi hanya sebagian kecil. Contohnya, misal ada penelitian apakah baso mengandung boraks dapat menyebabkan kanker? Diambilah 2 sampel masing-masing 1000 orang. Sampel pertama orang yang makan baso setiap hari tanpa boraks, sedangkan baso untuk sampel kedua dibumbui boraks. Setelah 1 tahun, didapati bahwa dari 1000 orang sampel pertama 10 orang terkena kanker, sedangkan dari sampel kedua adalah 20 orang. Apakah perbedaan 10 orang itu merupakan noise atau memang efek? Ternyata setelah dihitung-hitung, p-value menunjukan bahwa ternyata boraks memiliki efek pada orang yang menjadi sampel. Lihat, 10 dari 2000, hanya 0.5%, tapi ini bisa dikategorikan efek. It’s kinda boring too. Maka, sebagai salah satu solusi kasus 4 dan 5 ada instrumen lain untuk membantu p-value, yaitu instrumen untuk mengukur seberapa besar efek yang terjadi, namanya Cohen’s d. Apa itu Cohen’s d? Kapan-kapan, hehe….

May the force be with you.

Cinta Tanpa Tanya

Jika bukan cinta tanpa tanya, mungkin engkau berharap orang tua yang lebih kaya.

Jika bukan cinta tanpa tanya, mungkin engkau berharap orang tua yang memiliki paras rupawan.

Jika bukan cinta tanpa tanya, mungkin engkau berharap orang tua yang lebih pengasih, lebih sabar, lebih mengayomi.

Jika bukan cinta tanpa tanya, mungkin logika ini akan mencari orang tua kedua yang bisa sesuai kriteria.

Jika bukan cinta tanpa tanya, mungkin sudah kau tinggalkan orang tuamu yang tuna harta, tuna rupa, bahkan tuna ilmu yang sepertinya sudah tidak ada lagi harapan darinya yang bisa kau pinta.

Pada akhirnya, cinta itu berujung pada tanpa tanya.

Hanya karena kasih sayang kah sehingga engkau bisa melupakan kekurangan itu semua ?

Pada akhirnya, aku tak tahu jawabannya, tanya kenapa…

Kim Jon Rue vs Dedens : Bayesian Perspective

Penelitian tidak ilmiah ini berawal dari pertanyaan, kenapa Dedens lebih acceptable dibanding Kim Jon Rue padahal keduanya sama-sama sengak dalam berbicara. Acceptable dari sisi apa sih? Dalam hal kerelaan (circle saya) menyebarkan tulisan mereka. Kedua artis ini unik, mereka suka berkata kalau mereka ini cinta tanaman dengan cara hobi menyiram taman, padahal mereka membuat tanaman jadi kebanjiran, lalu busuk, dan tanaman pun jadi ikut-ikutan sengak. Tapi entah kenapa secara realita di circle saya dan beberapa kawan lainnya tulisan-tulisan Dedens itu sharability-nya lebih tinggi. Anehnya lagi dalam pandangan saya, orang yang mencibir orang lain yang men-share postingan justru dikategorikan (maaf) “bodoh” dan “tolol”, (dan saya lumayan setuju). Tapi orang yang mencibir ini malah share postingan Dedens, di tema yang sama, duh, kan saya jadi tepok jidat. Bahkan teman saya bilang, “orang yang menghina orang lain tolol tapi berpihak kepada ketololan lain, itu tolol kuadrat atau gimana?”. Maka dari itu saya penasaran untuk melihat apa yang membedakan mereka. Untuk melihat fenomena ini, saya menggunakan bayesian statistik.

Kenapa saya menggunakan bayesian statistik? Karena dengan bayesian saya bisa melihat probabilitas seseorang memandang sesuatu terutama terhadap beliau-beliau ini. Selain itu, bayesian statistik memberikan kesempatan untuk menempatkan subjektivitas pada perhitungannya. Agar lebih jelas, saya mulai dengan formulanya. Tenang, saya tidak akan memunculkan perhitungan rumit didalamnya, hanya hitungan-hitungan dasar. Kalaupun ada yang rumit biarlah itu menjadi sebuah blackbox. Ready? Ok, here we go. Start with the formula. Dasar bayesian statistik memiliki rumus seperti berikut :

Posterior = Function(Prior, Likelihood)

Prior dan Likelihood dimasukan ke dalam sebuah fungsi, sehingga outputnya adalah Posterior. Hmmmm, bahasanya lumayan tidak manusiawai untuk masyarakat Indonesia. So, insted of using Posterior, Prior, and Likelihood, I prefer using several new terms, sehingga formulanya menjadi :

AfterBelieve = Function(CurrentBelieve, ObservedBelieved)

Apa itu?

CurrentBelieve = Bagaimana keyakinan kita sekarang terhadap sesuatu. Contoh : Bagi pro Jokowi, kebijakan Jokowi yang baik rasionya adalah 80%, maka si pro meyakini probabilitas Jokowi berbuat  baik adalah 0.8. Atau bagi yang kontra Jokowi, si kontra meyakini probabilitas Jokowi berbuat baik hanya 0.2.

ObservedBelieve = Bagaimana keyakinan kita memandang satu atau lebih kejadian, alias kejadian yang sedang diamati. Contoh : Kebijakan Jokowi tentang Tax Amnesty : Bagi yang pro, 100% baik. Bagi yang kontra, hmmm, jelek sih, tapi gak jelek-jelek amat, ya sudah 30% baik.

AfterBelieve = Bagaimana keyakinan kita terhadap sesuatu setelah mengamati suatu kejadian dimana sebelumnya kita telah mempunyai suatu keyakinan. Semakin banyak ObservedBelieve yang kita peroleh, semakin kuat afterBelieve yang akan terbentuk. Contoh : Pro Jokowi sebelumnya meyakini kalau kebijakan Pak Jokowi 80% baik. Setelah keluar Tax Amnesti, keyakinan kita terhadap Jokowi menjadi 85% karena yang Pro Jokowi memandang Tax Amnesty 100% baik.

Note : Jika kita akan mengamati kejadian yang baru lagi setelah kejadian di atas terjadi, maka CurrentBelieve kita harus diupdate menggunakan sebuah fungsi tertentu. Contohnya, Pak Jokowi mengeluarkan kebijakan biaya STNK yang dinilai oleh Pro Jokowi 60% baik. Kejadian STNK ini kita kategorikan ObserverdBelieve. Maka CurrentBelieve yang digunakan bukan lagi yang 80% tapi yang sudah diupdate setelah kejadian Tax Amnesty, dimana sebut saja setelah diupdate menjadi 87%.

Bagaimana? Paham? Semoga paham. Lalu, saya menerapkan formula ini pada beliau-beliau ini. Beberapa bulan lalu saya mengamati postingan mereka. Saya mengamati sekitar 30 postingan, dimana tiap 5 postingan saya kategorikan menjadi 1 ObservedBelieve, dan masing-masing postingan saya nilai secara subjektif lebih banyak positifnya atau negatifnya, kalau positif saya beri poin satu, kalau negatif 0. Misal dari 5 postingan ada 3 positif, maka nilai positifnya adalah 3. Sayangnya, ternyata pengamatan saya yang tersimpan hanya berapa kali postingan positif yang mereka lakukan, sehingga untuk perhitungan CurrentBelieve dan AfterBelieve dilakukan dengan cara mengestimasinya, ya sebut saja dikira-kira tapi dengan penuh pertimbangan, (sedang speed writing, hehe). Saya mulai subjektivitas saya ke mereka dengan mengeset CurrentBelieve saya sebesar 0.5 terlihat pada observasi 1, sebut saja netral. Maka, apa yang terjadi ? Berikut hasil pengamatan saya. Pusing? Abaikan saja, langsung masuk ke penjelasan saja.

Berikut data Dedens

observasi jumlah

postingan

positif total

Positif

total

Negatif

current

Believe

observed

Believe

after

Believe

1 5 4 1 1 0.5 0.8 0.8
2 5 3 5 2 0.8 0.6 0.7
3 5 1 8 4 0.7 0.2 0.5
4 5 3 9 8 0.5 0.6 0.6
5 5 3 12 10 0.6 0.6 0.6
6 5 1 15 12 0.6 0.2 0.5

Lalu ini data Kim Jon Rue

observasi jumlah

postingan

positif total

Positif

total

Negatif

current

Believe

observed

Believe

after

Believe

1 5 2 1 1 0.5 0.4 0.4
2 5 2 3 4 0.4 0.4 0.4
3 5 1 5 7 0.4 0.2 0.3
4 5 3 6 11 0.3 0.6 0.4
5 5 2 9 13 0.4 0.4 0.4
6 5 1 11 16 0.4 0.2 0.4

Ya, ternyata dari perhitungan subjektivitas saya Dedens lebih positif dibandingkan Kim Jon Rue walaupun cuma beda 0.1 probabilitasnya. Tapi ada yang menarik dari data Kim Jon Rue dan Dedens ini. Jika melihat data Kim Jon Rue, beliau ini polanya aggresif, jarang sekali ia mendapat skor ObservedBelieve di atas 0.5. Lihat saja skor positifnya, 2, 2, 1, 3, 2, 1. Dia hanya sekali mendapat persetujuan mayoritas positif dari saya. Coba bandingkan dengan Dedens, dia beberapa kali mendapat persetujuan positif dari saya. Ketika AfterBelieve-nya sangat tinggi, dia tiba-tiba bermain sangat sengak, lihat saja dari 3 menjadi 1 sejumlah 2 kali. Bagi saya, Dedens ini sepertinya pandai memainkan tempo. Dia membuat saya berpikiran bahwa dia pembawaannya selalu positif, lalu tiba-tiba sengak, seperti alunan Bethoven Symphony 5. Ketika sentimen mulai negatif, ia membuat hal-hal positif lagi. Walaupun pada akhirnya currentBelieve saya semakin kuat bahwa beliau ini sengak kalau bicara, terlihat dari selisihnya dengan Kim Jon Rue yang cuma beda 0.1 itu. Btw, 0.4 sama 0.5 itu relatif tinggi, ini dikarenakan saya tesnya dengan sampel yang sedikit, hanya 30. Kalau 300 atau 1000 postingan mungkin AfterBelieve saya bakal jadi 0.2 sama 0.3.

Well, itu perhitungan yang hanya menggunakan subjektivitas saya, tentu akan berbeda dengan perhitungan orang lain. Hasil yang lebih aktual sepertinya akan lebih terlihat jika dilakukan dalam jumlah besar pesertanya dan postingannya dan dalam jangka yang panjang. Tertarik untuk mencoba ?

Salary-Competency-Lifestyle

Suatu hari saya ngobrol dengan salah satu bos saya tentang career planning. Isinya tentang hubungan salary-competency-lifestyle. Obrolan ini berawal dari dia menyayangkan kenapa banyak mayoritas karyawan di Indonesia itu gampang sekali pindah perusahaan hanya karena perbedaan salary yang tidak seberapa. Apalagi startup-startup yang menawakan salary gila-gilaan, bukan hanya merusak pasar, tapi merusak mentalitas juga, karena secara tanpa sadar membentuk pola pikir salary dulu baru kompetensi, “great salary comes great competencies”, kurang lebih gitu. Beliau mewanti-wanti saya kalau memang mau pindah perusahaan, pindahlah dengan “terhormat”, misal diberi tawaran jadi direktur dan visi perusahaan yang kamu tuju searah dengan visi punyamu. Kalau bisa, bukan kamu yang diinterview perusahaan, tapi kamu yang menginterview perusahaan.

Berawal dari situ, saya mencoba melakukan riset tidak ilmiah tentang career cycle employee di Indonesia, kebanyakan dengan cara interview, yah, namanya juga tidak ilmiah. Saya berharap ini bukan kondisi umum, bahkan saya berharap ini hanya ilusi, tapi dari banyak interview yang saya lakukan, kondisi ini sangat meresahkan. Kalau anda tersinggung, berarti saya tambah resah. Dialog dengan bos saya sebagai baseline dipadukan dengan hasil lainnya, saya menyimpulkan sebagai berikut :

samsung-interview

  1. Awalnya mau digaji standar. Kompetensinya kompetensi fresh graduate, alias gak punya kompetensi (yang signifikan). Punya kompetensi yang lumayan ketika fresh graduate, boleh lah lebihin dikit salary-nya. Lifestyle masih gaya hidup anak kosan.
  2. Penyakit generasi Y dan Z, “I deserve get better”. Merasa udah kerja paling keras, paling cerdas, merasa paling kompeten, tapi salary gitu-gitu aja, mulai banyak godaan buat pindah perusahaan yang menawarkan salary lebih oke. Di sisi lain, lifestyle makin naik, godaan pindah perusahaan makin berat. Padahal kompetensi nyatanya gitu-gitu aja atau naik tapi gak signifikan. Udah gak tahan, baru 2-3 tahun udah pindah.
  3. Ternyata pindah perusahaan enak, salary naik signifikan, tapi kompetensi gak naik signifikan. Kejadian 2 keulang lagi beberapa kali. 1-2 tahun pindah, asik gaji naik, lifestyle naik, terus pindah lagi, gitu terus sampai umur 30 tahunan. Sementara itu, kompetensi masih gitu-gitu aja. Oh, sorry, oke deh kompetensinya naik tapi gak seimbang sama salary yang ditawarkan. Untungnya sudah belajar omong kosong bagaimana cara menjelaskan sesuatu supaya lebih dihargai, jadi tiap interview bisa meyakinkan yang nge-interview, jadinya ada yang mau nampung.
  4. Gila, 10 tahun kerja sudah loncat 5 perusahaan bahkan lebih. Pengalaman kerja ngakunya 10 tahun, padahal aslinya pengalaman kerjanya 2 tahun tapi cuma diulang 5 kali, cuma ngulangin kerjaan yang 2 tahun itu. Selama 10 tahun gak belajar yang baru dan kontributif. Salary-nya lagi sadis-sadisnya. Lifestyle-nya gila, tapi tetap terpenuhi.
  5. Sementara itu, tanpa disadari kompetensinya mengalami depresiasi. Loh, kompetensi kok depresiasi? Bisa lah, misal orang lain udah buat pengembangan di cloud, dia masih main di grid. Atau misal 10 tahun dia berkutat pemrograman Java. Hitungan bulan, tiba-tiba Java obsolete, diganti Google Go, Java ditinggalkan. Karena 10 tahun itu aslinya 2 x 5 tahun, ketika harus pindah teknologi gak bisa-bisa, gak bisa adaptasi, soalnya 2 x 5 tahun itu cuma jadi tenaga terlatih, bukan tenaga terdidik. Apa bedanya tenaga terlatih dengan terdidik? Singa diajari buat lewat lingkaran api dan bisa melewatinya berkali-kali, tapi kalau lingkarannya diganti kotak gak bisa, itu namanya terlatih. Singa diajari buat pake motor dan hasilnya bisa pake, tapi kalau diajari pake sepeda gak bisa, atau usaha ngajari sepeda sama beratnya dengan motor, itu namanya terlatih. Tapi kalau diajari dikit singanya bisa, itu baru terdidik.
  6. Lalu di tengah usia 30-40 an mau loncat lagi gak bisa soalnya gajinya ketinggian tapi kompetensinya yang bisa dibanggakan cuma pengalaman kerja 10 tahun aja. Akhirnya harus bertahan di perusahaan lebih lama dari biasanya. Sementara itu, skill lanjut depresiasi, lifestyle makin naik lagi.
  7. Karena kompetensi yang jelek, employer udah sadar kalau employeenya gak bagus. Kerjanya standar bahkan dibawah standar. Cacatnya udah kelihatan. Akhirnya, si karyawan cuma ada 2 pilihan, salary-nya disesuaikan alias diturunkan, atau pindah perusahaan daripada cacatnya makin kelihatan.
  8. Si karyawan pun memutuskan untuk pindah perusahaan,  tapi agar diterima perusahaan lain, dia rela menurunkan salarynya. Lifestyle? Lanjut naik dong.
  9. Terus diulang-ulang kejadian nomor 8. Salarynya turun terus hingga setinggi standar salary-nya orang yang seumuran dia. Celakanya, salary udah gak cukup buat nutup lifestyle, tambah kompetensi juga udah males.
  10. It was at this moment that he knew, he f*cked up.

Pesan saya, semoga kejadian di atas tidak terjadi pada anda.

“Tingkatkan kompetensi, salary mengikuti. Jikalau pindah, pindahlah dengan terhormat, justru kami bakal bangga.” (Si Bos)